SUMENEP, Bongkar86.com – Derita warga di kawasan hilir sungai seperti Karanganyar, Pinggir Papas, dan Nambakor akhirnya menggema di ruang parlemen Sumenep. Senin siang (16/6),
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Forkot hadir di hadapan Komisi III DPRD Kabupaten Sumenep, menyuarakan jeritan rakyat yang bertahun-tahun terjebak dalam siklus banjir musiman yang memiskinkan.
Dipimpin Ketua Komisi III, M. Muhri, forum audiensi itu tak sekadar menjadi ruang formal. Ia berubah menjadi panggung pengungkapan soal kerusakan ekologis, potensi kelalaian institusional, dan tindakan sepihak PT Garam yang kini dipertanyakan legalitas maupun moralitasnya.
Herman, perwakilan LBH Forkot, menyampaikan bahwa banjir yang melanda setiap musim hujan bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan bencana struktural akibat pembiaran sistematis terhadap aliran sungai yang rusak.
“Kerugian bukan hanya material, tapi juga rasa aman warga yang hancur. Sungai-sungai kami tidak lagi mengalirkan kehidupan, tapi malapetaka. Dan ironisnya, PT Garam tiba-tiba muncul, mengklaim aliran sungai sebagai asetnya, tanpa ada pengelolaan yang nyata sebelumnya,” tegas Herman.
Menurut LBH Forkot, tindakan PT Garam yang diduga menguasai aliran sungai secara sepihak, memicu konflik baru di tengah masyarakat. Klaim itu bukan hanya dinilai tidak sah, tapi juga tak beretika karena dilakukan di atas penderitaan warga.
Ketua Komisi III DPRD Sumenep, M. Muhri, dengan wajah serius menyambut aspirasi LBH Forkot. Ia menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menutup mata terhadap persoalan yang bukan hanya menyentuh ruang hidup masyarakat, tapi juga menyentuh kredibilitas pemerintahan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan sekadar soal teknis drainase, tapi ini sudah menyentuh persoalan keadilan ekologis dan tata kelola sumber daya publik. Komisi III akan mendorong agar Pemkab dan PT Garam duduk bersama dalam forum terbuka, bukan di balik meja birokrasi,” ucap Muhri.
Muhri juga menegaskan pentingnya langkah lintas sektor, termasuk koordinasi serius dengan dinas teknis hingga aparat penegak hukum jika terbukti ada penyalahgunaan kewenangan atau manipulasi batas wilayah oleh korporasi.
Anggota Komisi III lainnya, Akhmadi Yasid, bahkan mengeluarkan pernyataan keras bahwa pihaknya akan segera turun langsung meninjau wilayah terdampak.
“Kita tak butuh lagi laporan kertas. Kita akan lihat langsung penderitaan warga. Ini bukan soal politik, ini soal moralitas dan tanggung jawab terhadap keselamatan rakyat” katanya.
Ia juga mendorong agar DPRD Sumenep mengeluarkan rekomendasi resmi untuk normalisasi sungai dan audit atas klaim aset oleh PT Garam.
Audiensi ini tidak hanya membahas banjir, tetapi juga menyentuh potensi ledakan sosial di masyarakat jika konflik lahan dan banjir tidak segera ditangani.
LBH Forkot bahkan mendesak DPRD agar menggandeng BPK, BPN, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan audit menyeluruh terhadap status sungai dan lahan yang diklaim PT Garam.
“Kalau perlu, kami akan bawa kasus ini ke pusat. Ini soal kedaulatan warga atas ruang hidupnya,” pungkas Herman.
Rapat audiensi yang awalnya tenang berubah menjadi titik awal perlawanan. Komisi III berjanji akan menjadwalkan rapat gabungan bersama OPD teknis dan pihak PT Garam dalam waktu dekat, serta mempersiapkan langkah legislasi dan pengawasan lanjutan.
Hari itu, di ruang Komisi III, DPRD dan masyarakat seolah menyatukan suara: banjir bukan nasib, tapi hasil dari kebijakan yang harus diluruskan. (Apo)
Komentar